PERAN KOMISI NASIONAL PLASMA NUTFAH DALAM PENGELOLAAN PEMANFAATAN DAN PELESTARIAN SUMBERDAYA GENETIK PERTANIAN
Sebagai negara mega-biodiversity, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati (KH) yang sangat tinggi, baik keanekaragaman ekosistem, keaneka-agaman spesies, maupun keragaman genetik dari setiap jenis yang ada (Tabel 1). Pemanfaatan KH tersebut telah dilakukan sejak awal kehidupan manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar mereka, seperti untuk pangan, sandang, papan maupun obat-obatan. Menyadari potensi KH yang sangat strategis tersebut, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan dan peraturan menyangkut pemanfaatan, termasuk penelitiannya, maupun upaya pelestariannya. Beberapa peraturan yang terkait dengan hal itu antara lain :UU No.6 Tahun 1967 tentang Peternakan dan Kehewanan, UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, serta UU No. 18 Tahun 2002 tentang Sisnas Litbangrap IPTEK, Keputusan Presiden No. 100 Tahun 1993 tentang Izin Penelitian Bagi Orang Asing, dll.
Sebagai wujud komitmen Indonesia pada tingkat global yang terkait dengan upaya pelestarian dan pemanfaatan KH serta peningkatan kerjasama internasional, Indonesia berperan aktif dalam berbagai forum internasional untuk pengelolaan sumber daya genetik yang berkelanjutan. Beberapa kesepakatan internasional berkenaan dengan pengelolaan sumber daya genetik yang telah ditandatangani antara lain : Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati tahun 1992 (United Nations Convention on Biological Diversity/CBD) ; Cartagena Protocol on Biosafety tahun 2000; Bonn Guidelines on Access to Genetic Resources and Fair and Equitable sharing of the Benefits Arising out of Their Utilization tahun 2002; dan lain.
Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) memuat kesepakatan internasional untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya hayati serta menunjang adanya pembagian keuntungan yang adil dalam pemanfaatan komponen-komponen sumber daya genetik tersebut. Dalam konvensi ini telah digariskan pula kesepakatan mengenai perlunya pengaturan hak-hak atas plasma nutfah (sumber daya genetik/SDG), hak-hak petani, keamanan hayati, hak-hak kepemilikan intelektual dan lain sebagainya. Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994. Indonesia berkeyakinan bahwa upaya pelestarian mutu dan pengelolaan lingkungan termasuk KH perlu ditujukan untuk mendukung hubungan ekonomi dan perdagangan global yang menguntungkan semua pihak, terutama negara pemilik SDG.
Dalam konteks pertanian, ekosistemnya bersifat spesifik dan merupakan buatan manusia. Secara tradisional, agroekosistem mempunyai keragaman tanaman, ternak, ikan, dan jasad renik yang relatif tinggi; biasanya spesies yang di tanam/budidayakan bervariasi dengan pola tanam polikultur. Pada pertanian modern, kecenderungan yang terjadi adalah pertanaman/budidaya secara monokultur sehingga keragaman spesies/varietas/galur lebih sempit.
Diantara berbagai KH yang dipengaruhi oleh keragaman dalam lingkungan dan keragaman dalam jenis (plasma nutfah), SDG pertanian (agrobiodiversity) merupakan salah satu plasma nutfah (PN) yang sangat mendesak untuk diamankan dari kepunahan maupun terjadinya erosi potensi genetiknya. Sebab SDG pertanian secara riil telah dan terus akan dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat, baik pada tingkat lokal, regional, nasional, maupun global.
Saat ini banyak kerancuan pemahaman, bahwa sebagai negara mega-biodiversity secara otomatis Indonesia kaya akan koleksi PN. Kondisi yang ada adalah sebaliknya, Indonesia justru sangat miskin koleksi PN yang dapat dimanfaatkan secara riil dalam proses perakitan varietas atau bibit unggul, seperti tercermin dalam Tabel 2.
Tabel 2. Koleksi plasma nutfah tanaman di beberapa IARC1)
Kondisi-kondisi tersebut diatas perlu disikapi dengan tepat, sehingga diperlukan suatu kebijakan yang kondusif agar pengelolaan dalam memanfaatkan maupun melestarikan PN pertanian merupakan bagian integral dari proses pembangunan nasional maupun wilayah. Dalam hal ini kebijakan harus memposisikan bahwa masyarakat sebagai pemilik dan pengelola PN, sebagai subyek yang harus memperoleh manfaat yang paling besar, bukan sebaliknya. Makalah ini membahas peran Komisi Nasional Plasma Nutfah (Komnas PN) dalam menyusun strategi dan memberi masukan tentang kebijakan pengelolaan pemanfaatan dan pelestarian PN, khususnya SDG pertanian.
PENGERTIAN PLASMA NUTFAH
Mengacu kepada hasil Convention on Biological Diversity, PN diartikan sebagai “bahan tanaman, hewan, mikroba atau mahluk lainnya yang mengandung satuan-satuan fungsional pewarisan sifat yang mempunyai nilai, baik aktual maupun potensial” (Komnas PN, 2000). PN mencakup keanekaragaman bahan genetika baik dalam bentuk varietas tradisional dan mutakhir maupun kerabat liarnya. Bahan genetika ini merupakan bahan mentah yang sangat penting bagi para pemulia tanaman, hewan dan ikan, terutama untuk merakit varietas atau galur baru. Dapat dikatakan bahwa bahan genetika ini merupakan cadangan penyesuaian genetika untuk mengatasi lingkungan yang membahayakan dan perubahan ekosistem.
Pengertian tentang konsep PN sering dicampur-adukkan dengan pengertian keanekaragaman hayati (KH). Konsep KH mencakup semua keanekaragaman organisme di alam ini, baik yang liar maupun yang telah dibudidayakan termasuk pula lingkungan hidupnya. Guna memudahkan pemahaman, KH dibagi dalam tiga tingkatan, yakni ekosistem, jenis dan di dalam jenis. Di dalam pengertian ini PN termasuk didalam pengertian yang paling sempit, yaitu keanekaragaman di dalam jenis atau keanekaragaman sumber daya genetik (Sastrapradja, 1992).
Di dalam perkembangannya, PN tidak lain adalah substansi yang terdapat dalam kelompok mahluk hidup dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dalam rekayasa penciptaan bibit unggul maupun rumpun baru (Komnas PN, 1999). Dalam kaitannya dengan tanaman, PN dapat berupa biji, jaringan tanaman, dan tanaman muda/dewasa; sedangkan pada ternak hal tersebut dapat berbentuk jaringan, semen, telur, embrio dan hewan hidup muda/dewasa (National Research Council, 1993, dan Komnas PN, 1999).
Dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Pasal 1 butir 2, yang dimaksud dengan PN adalah substansi yang terdapat dalam kelompok makhluk hidup, dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul atau kultivar baru. Dengan demikian menurut undang-undang tersebut PN merupakan keseluruhan keanekaragaman genetik yang terdapat dalam mahkluk hidup (tumbuhan, satwa dan mikroorganisme). Diantara berbagai KH yang dipengaruhi oleh keragaman dalam lingkungan dan keragaman dalam jenis (plasma nutfah), PN pertanian (agrobiodiversity) merupakan salah satu PN yang sangat mendesak untuk diamankan dari kepunahan maupun terjadinya erosi potensi genetiknya. Sebab PN pertanian atau juga sering disebut dengan sumber daya genetik (SDG) pertanian secara riil telah dan terus akan dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global.
PEMANFAATAN DAN PELESTARIAN SDG PERTANIAN
Pemanfaatan SDG idealnya dapat diarahkan demi kesejahteraan manusia diiringi dengan pelestarian keanekaragaman dan keunikan yang dimiliki sehingga dapat dilakukan secara berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri dari berbagai suku serta budaya, akan berkaitan erat dengan pemanfaatan SDG yang sangat beragam antar wilayah dan agro-ekologi. Keragaman budaya yang disertai dengan keragaman SDG pertanian akan menghasilkan beragam pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya tersebut untuk keperluan pangan, papan, sandang, obat-obatan maupun bahan baku industri.
Memasuki abad XXI, Indonesia telah meratifikasi beberapa kesepakatan internasional seperti GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), TRIP (Trade Related Intellectual Property Rights), AFTA (Asian Free Trade Agreement), dan tidak lama lagi juga tentang Cartagena Protocol on Biosafety, dan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (IT-PGR/FA). Dengan demikian berarti Indonesia akan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pemasaran produk asing di dalam negeri, sebaliknya juga merupakan peluang untuk memasarkan produk lokal di pasar dunia.
Pasar global selain menghendaki produksi yang berkesinambungan juga menghendaki kualitas produk yang tinggi. Ini merupakan tantangan yang tidak ringan bagi kita untuk meningkatkan produksi sekaligus meningkatkan kualitas. Kita tahu bahwa berbagai produk pertanian kita banyak yang ditolak di pasar dunia karena di bawah standar mutu internasional yang sudah ditetapkan. Sedangkan produk dari negara-negara industri sudah dirancang dari awal sedemikian rupa sehingga hasilnya tidak menyimpang dari standar yang sudah ditetapkan. Masih menjadi pertanyaan “apakah kita hanya akan menjadi negara konsumen produk dari negara industri untuk selamanya?”
Untuk dapat bersaing di pasar dunia, selain kualitas produk juga ada faktor yang sangat menentukan, yaitu kepemilikan SDG dari produk yang diminati pasar dunia dan kemampuan akses terhadap pangkalan data standar mutu berbagai komoditas yang menjadi permintaan pasar.
Globalisasi dan desentralisasi atau otonomi daerah, menjadi dua kata kunci penting dalam pengelolaan keanekaragaman hayati. Perkembangan global sudah mempunyai banyak implikasi pada tingkat nasional, dan akan berpengaruh pada pengelolaan plasma nutfah yang terdesentralisasi. Nilai keanekaragaman hayati yang demikian tinggi di pasar global merupakan peluang bagi daerah untuk memperoleh pendapatan dari sumber daya hayatinya. Dalam era desentralisasi, setiap daerah mempunyai hak untuk mengelola dan mendapatkan keuntungan dari aset tersebut.
Namun, upaya pelestarian keanekaragaman hayati masih dipertentangkan dengan peningkatan pendapatan daerah. Dengan melihat tren global bahwa keanekaragaman hayati menjadi “emas baru”, maka seyogyanya pembangunan di daerah bertumpu pada masing-masing sumber daya hayatinya, dengan pola yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Proses desentralisasi dengan diberlakukannya undang undang otonomi daerah diharapkan membawa Indonesia ke era baru pengelolaan plasma nutfah yang lebih baik. Pergeseran kebijakan pemerintah menuju pelibatan masyarakat dalam pengelolaan plasma nutfah akan membawa dampak luas pada upaya pengelolaan plasma nutfah yang berkelanjutan. Desentralisasi memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengelola sumber daya genetik secara lebih leluasa, dan mengurangi beban pemerintah pusat atas pengelolaan sumber daya genetik tersebut. Namun demikian, kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya genetik apabila tidak terkontrol dapat mengarah kepada eksploitasi yang sangat intensif demi meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), dengan mengesampingkan untuk kepentingan jangka panjang.Perubahan tatanan pemerintahan yang mendasar tersebut menuntut dibinanya suatu sistem pengelolaan sumber daya genetik yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Reformasi dan penguatan kelembagaan pengelolaan sumber daya genetik sangat diperlukan untuk mendukung program desentralisasi, diantaranya: (a) peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola keaneka-ragaman hayati; (b) penciptaan mekanisme koordinasi; (c) penyesuaian alokasi kewenangan dan sumber daya pengelolaan; dan (d) penerapan valuasi yang akurat terhadap sumber daya.
Suatu tindakan yang terencana dan konsisten sangat diperlukan untuk mencegah dan memulihkan kerusakan keanekaragaman hayati. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sudah menumpuknya masalah kerusakan keanekaragaman hayati dan mendesaknya penyelamatan keberlanjutan keanekaragaman sumber daya hayati.
Kerusakan ekosistem yang parah akan menyulitkan proses pemulihannya serta memerlukan dana yang sangat besar.Strategi dan rencana aksi pengelolaan keanekaragaman sumber daya hayati harus disusun secara menyeluruh, dengan mempertimbangkan lintas sektoral baik yang menyangkut langsung dengan keanekaragaman hayati itu sendiri maupun faktor pendukungnya seperti kawasan, manusia, aspek ekonomi, dan kebijakan. Diharapkan pelaksanaan strategi dan rencana aksi akan menghasilkan sistem pengelolaan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan dan mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bappenas melalui proyek IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) sedang menyusun buku pedoman mengenai strategi dan rencana aksi pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia. Rencana penyusunan buku pedoman tersebut cukup baik yang menampilkan arah kebijakan, program, target waktu, indikator kinerja, dan instansi/lembaga/wilayah yang terlibat. Namun demikian, sebelum pedoman tersebut diterbitkan dan digunakan sebagai panduan resmi pemerintah, sebaiknya dikoordinasikan terlebih dahulu antar sektor/lembaga/organisasi pemerintah yang sudah mempunyai program yang didasarkan ketersediaan sumber daya dan wewenangnya. Bahwa kepedulian keberlanjutan keanekaragaman hayati adalah kepedulian seluruh masyarakat, bukan semata-mata tanggung jawab sektoral. Penyempurnaan isi rencana strategi dan rencana aksi masih diperlukan agar dapat lebih aplicable.
KOMISI NASIONAL PLASMA NUTFAH
Perhatian terhadap PN di Indonesia telah dilakukan dengan lebih serius secara nasional sejak 26 tahun yang lalu, dengan dibentuknya suatu komisi oleh pemerintah cq. Departemen Pertanian. Komisi ini diharapkan dapat memberikan masukan/pemikiran kearah pelestarian PN pertanian yang ada di Indonesia. Melalui SK Menteri Pertanian No. 783/Kpts./OP/11/1976 telah ditetapkan Komisi untuk pertama kalinya yang secara resmi berdiri tanggal 23 Nopember 1976 dengan nama
Komisi Pelestarian Plasma Nutfah Nasional (KPPNN).
Dalam perjalanannya, seiring dengan meningkatnya peran yang harus dilakukan sebagai lembaga koordinatif di tingkat nasional, sejak tahun 1998, Komisi ini berganti nama menjadi Komisi Nasional Plasma Nutfah atau biasa juga disebut Komnas Plasma Nutfah (Komnas PN). Susunan keanggotaan Komnas PN yang terakhir dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/KP.150/6/2001 tanggal 6 Juni 2001.
Sebagai lembaga koordinatif yang menghubungkan berbagai sektor, bidang dan lapisan terkait untuk membina keterpaduan antara para pengguna, peneliti, pelestari, dan pengambil kebijakan dalam pengelolaan plasma nutfah maka keanggotaan Komnas Plasma Nutfah sejauh mungkin mengandung unsur-unsur tersebut. Susunan Komnas Plasma Nutfah terdiri dari (1) Pengarah dan (2) Pelaksana Harian. Pengarah Komnas PN diketuai oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan anggota-anggota yang mencakup bidang pertanian, perikanan, kehutanan dan perkebunan, biologi, keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup. Sementara itu Pelaksana Harian; terdiri dari personil berbagai bidang kepakaran dan lembaga yang didasarkan kapasitas pribadi yang keseluruhannya mencakup sebanyak mungkin disiplin keilmuan dalam pengelolaan PN.
Pelaksana Harian Komnas PN bertanggungjawab kepada Pengarah Komisi atas pelaksanaan tugasnya, sedangkan Pengarah Komnas PN bertanggungjawab kepada Menteri Pertanian. Tugas pokok Pelaksana Harian Komisi meliputi: (a) menyampaikan saran kepada Pengarah Komnas PN mengenai pelaksanaan dan pengaturan pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah; (b) memberikan masukan kepada Pengarah dalam rangka koordinasi pelaksanaan penelitian dan pelestarian plasma nutfah; (c) melakukan evaluasi perkembangan dari pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah; (d) mempromosikan pentingnya plasma nutfah dan konservasi plasma nutfah termasuk pemanfaatannya; dan (e) melaporkan pelaksanaan kegiatannya kepada Pengarah Komnas PN.
Disadari bahwa pengetahuan dan kepedulian tentang pentingnya pelestarian dan pemanfaatan SDG pertanian secara berkelanjutan harus terus dilakukan dan didorong sehingga benar-benar membudaya dalam segala tindak masyarakat. Peningkatan kepedulian terhadap SDG terutama ditujukan kepada aparat yang berperan langsung dalam pengambilan kebijakan dengan melakukan koordinasi antar instansi/lembaga. Pembudayaan secara terencana dilakukan pula terhadap pengajar dan mahasiswa perguruan tinggi di berbagai perguruan tinggi, demikian pula pihak swasta, organisasi profesi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta masyarakat umum. Informasi dan publikasi mengenai perplasmanutfahan telah dibuat oleh Komnas PN agar pengetahuan dan kesadaran mengenai PN atau SDG dapat tersebar, melalui media Warta Plasma Nutfah Indonesia dalam bentuk informasi populer/berita; sementara itu pertukaran informasi yang bersifat ilmiah dilakukan dalam bentuk media lain, yaitu Buletin Plasma Nutfah.
Dukungan Komnas PN dalam bidang praktis juga dilakukan dalam bentuk bantuan perencanaan, pelaksanaan pengelolaan SDG dan dalam jumlah sangat terbatas bantuan pendanaan ke instansi lingkup Departemen Pertanian terhadap kegiatan pelestarian ex situ berbagai jenis tanaman (rempah-rempah, karet, kopi, kakao, buah-buahan, kelapa), ternak, ikan dan mikroba yang dilakukan pada kebun-kebun koleksi dan laboratorium di berbagai daerah di Indonesia.
Koordinasi dan kerjasama mengenai perplasmanutfahan di tingkat nasional, regional dan internasional juga menjadi aspek penting yang sangat diperhatikan dan makin dipererat oleh Komnas PN. Hubungan kerjasama dengan negara-negara di Asia Tenggara telah dijalin melalui wadah kelembagaan yang bernama Regional Commision of South East Asian (RECSEA). Komnas PN juga telah bekerjasama dengan sebuah lembaga plasma nutfah Internasional seperti International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI).
Disadari bahwa potensi keragaman sumber daya genetik perlu terus dipertahankan dan dilindungi melalui perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum tetap agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Demikian pula aspek pengamanan SDG dan pemanfaatannya juga menjadi perhatian Komisi. Sehubungan dengan itu, Komnas PN telah melakukan kajian peraturan/perundangan Indonesia yang berkaitan dengan perplasmanutfahan. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan antara lain adalah (a) kajian Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1995 tentang Perbenihan; (b) usulan penyempurnaan beberapa materi yang terkait dengan Undang-undang No. 6 tahun 1967 tentang Peternakan dan Kehewanan; (c) penyusunan pedoman tentang keamanan hayati (bio-safety); (d) pedoman penyusunan penghargaan kepada petani pelestari plasma nutfah (farmers’ right); serta (e) penyusunan beberapa Konsep peraturan perundang-undangan yang mempunyai cakupan lebih luas, antara lain : (1) Rancangan Undang Undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik (RUU-PSDG); (2) Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Keamanan Produk Rekayasa Genetik (RPP-KPRG); dan (3) Rancangan Undang Undang Ratifikasi Perjanjian Internasional mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (RUU Ratifikasi PI-SDGT/PP).
Untuk mempersiapkan pedoman analisis dan manajemen resiko pemanfaatan produk rekayasa genetik, Komnas PN bersama-sama dengan Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan telah menyusun pedoman keamanan hayati, keamanan pangan dan keamanan pakan produk rekayasa genetik. Masih dalam kaitannya dengan pendekatan kehati-hatian terhadap produk rekayasa genetik (organisme hasil modifikasi), Komnas PN telah secara proaktif membantu Kementerian Lingkungan Hidup untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Ratifikasi Cartagena Protocol on Biosafety yang akan segera entry into force karena sudah diratifikasi/di akses oleh 48 negara (dinyatakan entry into force apabila sudah di ratifikasi/di akses oleh 50 negara).
Kerisauan stakeholders yang terwakili oleh Sumarno (2002) tentang lemahnya sistem pengelolaan berkelanjutan plasma nutfah (pertanian) di Indonesia, dan keinginan untuk meningkatkan kinerja sistem pengelolaannya, mengharapkan perlunya dibentuk Kelembagaan Nasional Pengelolaan Plasma Nutfah yang akan melaksanakan kebijakan pengelolaan plasma nutfah secara nasional. Walaupun Komnas PN secara organisasi telah melaksanakan perannya sebagai lembaga koordinatif di tingkat nasional, namun secara organisasi, kelembagaan pengelola plasma nutfah nasional belum dapat dilegalisasi. Legalisasi kelembagaan pengelola plasma nutfah nasional harus didasarkan pada aturan perundang-undangan yang berlaku. Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang memerintahkan untuk membentuk lembaga pengelola plasma nutfah nasional. Untuk maksud tersebut, Komnas Plasma Nutfah sudah memasukkan substansi perlunya dibentuk lembaga yang dimaksud, dalam konsep RUU-PSDG (bab Kelembagaan).
PROGRAM KOMNAS PLASMA NUTFAH
Komnas PN telah mengembangkan pandangan (visi) bahwa PN atau SDG merupakan modal yang sangat penting dalam (a) mewujudkan ketahanan pangan nasional, (b) pengembangan sistem dan usaha agribisnis, serta (c) dalam upaya memberdayakan masyarakat di pedesaan agar berkehidupan lebih baik melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan petani. Oleh karena itu SDG pertanian harus dimanfaatkan secara berkelanjutan bagi kepentingan ekonomi, sosial, hukum dan kesejahteraan masyarakat luas. Pandangan tersebut dapat terwujud bila
Komnas PN dapat berfungsi sebagai suatu oraganisasi koordinatif yang tangguh dan didukung oleh personel yang mempunyai integritas dan kepakaran yang relevan. Komisi juga harus mampu mengantisipasi perkembangan yang terjadi di taraf lokal, nasional, regional, maupun global. Untuk itu perlu disusun suatu program yang mencakup beberapa aspek, yang disesuaikan dengan tugas dan fungsinya.
Program utama dari Komnas PN terdiri dari program (a) internal dan (b) eksternal. Program internal adalah untuk melakukan pembinaan dalam meningkatkan kemampuan organisasi, khususnya Pelaksana Harian, baik kemampuan secara kualitatif maupun kuantitatif. Peningkatan wawasan dan pengetahuan anggota Pelaksana Harian Komnas PN dilakukan melalui suatu diskusi internal, diskusi umum, penggalian informasi melalui media cetak maupun elektronik, serta komunikasi langsung dengan stakeholders dan beneficiaries.
Program eksternal diarahkan untuk lebih menekankan pada aspek yang terkait dengan pemantauan perkembangan global mengenai kondisi dan status SDG serta pengelolaannya; pemasyarakatan mekanisme pemanfaatan dan pelestarian PN secara berkelanjutan; serta perumusan program nasional pengelolaan SDG, termasuk koordinasi pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasinya.
Untuk mewujudkan hal itu Komnas PN bersama dengan para pakar dan pemerhati telah dan akan menjabarkan menjadi rancang tindak yang antara lain bertujuan:
• Mendorong terberdayakannya masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan PN secara berkelanjutan.
• Mendukung terkembangnya kebijakan pemerintah dan peraturan yang berkekuatan hukum dalam pengelolaan SDG secara berkelanjutan, serta perkembangan iptek dalam mengelola PN.
• Mengarahkan kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan PN menuju pengelolaan secara berkelanjutan.
• Mengikuti perkembangan kondisi dan status, serta pengelolaan SDG pada taraf global, untuk dijadikan dasar pengembangan pengelolaan plasma nutfah pada taraf nasional.
Program jangka pendek disusun setiap tahun anggaran yang dikerjakan sesuai dengan ketersediaan dana. Program jangka pendek biasanya direncanakan bersamaan dengan penyusunan usulan anggaran sesuai dengan siklus perencanaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk tahun anggaran 2003, yang dimulai pada bulan April dan berakhir pada bulan Desember, kegiatan Komnas PN terdiri dari:
• Koordinasi kegiatan Komnas PN dalam memperkuat jejaring pengelolaan plasma nutfah pertanian;
• Peningkatan kesadaran kemampuan stakeholders dalam pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah;
• Penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya genetik (RUU tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik dan RUU Ratifikasi Perjanjian Internasional tentang Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian);
• Analisis kebijakan dalam pemanfaatan plasma nutfah pertanian (keterkaitan dengan kegiatan pemuliaan).
• Analisis kebijakan perkembangan pelestarian plasma nutfah dan issues nasional maupun internasional.
• Analisis kebijakan konservasi plasma nutfah berkaitan dengan pelaksanaan OTODA.
• Evaluasi hasil kegiatan pelestarian plasma nutfah yang dilakukan oleh instansi penelitian lingkup Departemen Pertanian;
• Publikasi hasil penelitian plasma nutfah pertanian dan kegiatan Komnas PN, berupa Buletin dan Warta Plasma Nutfah, serta Laporan Tahunan.
Sedangkan program jangka panjang Komnas PN telah dituangkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Komnas PN, yang nantinya akan dijabarkan dalam kegiatan tahunan. Renstra Komnas PN akan disusun dengan memperhatikan : (a) Rencana lima tahunan Departemen Pertanian 2005-2009 yang terkait erat dengan program dan arah pembangunan (pertanian) nasional, (b) Kebijakan Strategis Litbang dan IPTEKNAS, serta (c) Kesepakatan internasional yang telah dan akan diratifikasi.
HASIL-HASIL YANG TELAH DICAPAI
Beberapa hasil unggulan yang telah dicapai Komnas PN sampai dengan tahun 2000, diantaranya:
• Masukan konkrit kepada Badan Litbang Pertanian agar memberikan perhatian pada kegiatan pemuliaan dan pelestarian SDG pertanian. Rekomendasi ini oleh Badan Litbang secara langsung telah direspon dengan memberikan prioritas tertinggi dalam Renstra Badan Litbang Pertanian (2000-2004), serta tercermin dengan alokasi anggaran dan pembinaan SDM yang mendapat perhatian utama;
• Beberapa draft Keputusan Menteri yang terkait dengan pemanfaatan, pengelolaan dan pelestarian plasma nutfah tanaman dan ternak, yakni :
1. Perizinan, Pengumpulan dan Pemanfaatan Plasma Nutfah serta Pelaporannya;
2. Pengeluaran dan Tukar Menukar Plasma Nutfah Tanaman;
3. Pedoman Pemanfaatan dan Pelestarian Plasma Nufah Ternak.
• Berpartisipasi aktif dalam penyusunan Rancangan Undang Undang mengenai Perlindungan Varietas Tanaman (RUU-PVT) yang telah diundangkan dengan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2000; Penyusunan pedoman keamanan hayati varietas atau galur GMO (genetically modified organism); Peraturan kebijakan yang terkait erat dengan bio-prospecting, farmer rights, dan HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual);
• Pedoman tentang pengelolaan dan pemanfaatan kawasan pelestarian plasma nutfah di hutan produksi; dan lain-lain.
Sesuai dengan mandat yang diembannya, Komnas PN dalam dua tahun terakhir ini (2001-2003) bekerjasama dengan berbagai stakeholder telah menyusun berbagai konsep rancangan peraturan perundang-undangan yang lebih luas. Konsep peraturan perundang-undangan yang telah disusun dan sedang dalam/sudah melalui proses pembahasan oleh tim Panitia Antar Departemen (PAD) adalah : (1) Rancangan Undang Undang Pengelolaan Sumber Daya Genetik (RUU-PSDG); (2) Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Keamanan Produk Rekayasa Genetik (RPP-KPRG); dan (3) Rancangan Undang Undang Ratifikasi Perjanjian Internasional mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (RUU Ratifikasi PI-SDGT/PP). Khusus untuk proses ratifikasi PI-SDGT/PP, Komnas Plasma Nutfah telah melaksanakan beberapa kali Lokakarya untuk membahas “untung rugi” meratifikasi PI-SDGT/PP. Diperoleh kesimpulan rekomendasi bahwa Indonesia perlu meratifikasi PI-SDGT/PP. Komnas PN sudah menyiapkan bahan-bahan pertimbangan untuk penandatanganan PI-SDGT/PP. Untuk tujuan penandatanganan PI-SDGT/PP, Departemen Pertanian terus mendorong Pemerintah Pusat untuk menandatanganinya.
Untuk mempersiapkan pedoman analisis dan manajemen resiko pemanfaatan produk rekayasa genetik, Komnas PN juga ikut aktif dalam penyusunan Pedoman Keamanan Hayati Keamanan Pangan dan Keamanan Pakan Produk Rekayasa Genetik. Masih dalam kaitannya pendekatan kehati-hatian terhadap produk rekayasa genetik (organisme hasil modifikasi), Komnas PN telah secara proaktif membantu Kementerian Lingkungan Hidup untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Ratifikasi Cartagena Protocol on Biosafety yang akan segera entry into force.
Dalam tahun anggaran 2001, Komnas PN juga telah membina Balai Penelitian dalam mengelola dan mengkonservasi plasma nutfah tanaman, ternak, ikan dan mikroba. Puluhan komoditas dan jenis, serta ribuan aksesi telah terkoleksi dan teridentifikasi dengan baik. Mulai tahun angaran 2002 pembinaan dan pelaksanaan kegiatan tersebut telah dialihkan kepada Puslit dan Balit yang bersangkutan, dan secara langsung dikoordinasi oleh Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumnberdaya Genetik (Balitbio-gen). Komnas PN hanya akan membantu dalam memberikan arahan, masukan serta saran-saran agar kegiatan tersebut sesuai dengan upaya pemanfaatan dan pelestarian secara bertanggung jawab.
Untuk tujuan koordinasi pengelolaan plasma nutfah, Komnas PN telah melaksanakan : (1) Sosialisasi dan Apresiasi pengelolaan plasma nutfah, sebagai upaya untuk memberikan pemahaman, keterampilan, dan kemampuan para peneliti di Balai Penelitian Komoditas dan BPTP lingkup Badan Litbang Pertanian; (2) Seminar Nasional Pemanfaatan dan Pelestarian Plasma Nutfah, yang dihadiri beberapa pejabat eselon I dan II lingkup Deptan, perguruan tinggi, ilmuwan, pelaku bisnis, dan mahasiswa; (3) Apresiasi pengelolaan data-base plasma nutfah pertanian, yakni dengan melaksanakan lokakarya dan pelatihan terhadap para peneliti untuk memanfaatkan manajemen sistem informasi pengelolaan data-base dengan menggunakan program Microsoft Access; dan (4) Sosialisasi dan apresiasi keamanan hayati dan keamanan pangan produk rekayasa genetik.
Seiring dengan berlakunya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Komnas PN telah menyusun buku “Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah dan Pedoman Pembentukan Komda PN”, serta secara proaktif melaksanakan sosialisasi dengan pemerintah daerah dan instansi terkait di propinsi Jawa Barat, Banten, Lampung, dan Sumatera Selatan. Sampai saat ini telah terbentuk Komda PN di Propinsi Sumatera Selatan (SK Gubernur nomor 353/KPTS/Balitbangda tanggal 23 Juli 2002), Propinsi Lampung (SK Gubernur nomor G/353/IV.02/HK/2002 tanggal 13 Desember 2002), dan di Propinsi Banten (SK Gubernur nomor 525.3/Kep.28-Huk/2003 tanggal 27 Februari 2003). Di lingkup Badan Litbang Pertanian, Balit/Lolit/BPTP dapat di dorong sebagai fasilitator pembentukan dan aktivasi Komda PN.Dengan terbentuknya Komda-Komda PN, maka koordinasi Komnas PN akan lebih efisien dan tepat sasaran.
Walaupun Komnas PN telah melaksanakan sosialisasi, lokakarya, dan apresiasi mengenai perplasmanutfahan dan produk rekayasa genetik, namun nampaknya masih banyak stakeholders yang belum mengetahui hasil-hasil kegiatan Komnas PN dalam membantu memecahkan permasalahan perplasmanutfahan nasional. Dicontohkan bahwa Himpunan Kimia Bahan Alam Indonesia telah mengirim surat kepada Menteri Pertanian (Nomor 35/I/SimNasKBA-2003/IV/2003 tanggal 7 April 2003) perihal “Rekomendasi Bandung”, yang intinya mengharapkan pengambilan langkah-langkah yang diperlukan untuk membuat peraturan perundang undangan dalam kaitannya dengan pengelolaan keanekaragaman hayati. Dari surat tersebut menunjukkan bahwa ada salah satu stakeholder penting yang belum mengetahui bahwa yang diusulkan ternyata sedang dilaksanakan oleh Komnas PN.
Untuk tujuan sosialisasi sekaligus menjaring masukan para stakeholder guna penyempurnaan produk atau rancangan produk yang telah dihasilkan, Komnas PN telah menyelenggarakan Workshop tentang kebijakan perplasmanutfahan pada tanggal 29 Mei 2003, bertempat di Badan Litbang Pertanian.
Beberapa publikasi yang telah dihasilkan Komnas PN sampai dengan tahun 2003 terdiri dari:
• Buletin Plasma Nutfah, yang merupakan publikasi primer maupun review, ditujukan untuk masyarakat ilmiah, pemerhati, dan pengambil kebijakan.
• Warta Plasma Nutfah, merupakan berita tentang kegiatan Komnas PN dan hal-hal yang terkait dengan perplasmanutfahan di Indonesia maupun manca negara.
• Buku tentang: Mengenal jenis-jenis flora dan fauna penjati diri propinsi
• Buku tentang: Mengenal sumber pangan nabati dan plasma nutfahnya
• Publikasi tentang: Mengenal konvensi keanekaragaman hayati.
• Buku pedoman tentang : Pembentukan Komisi Daerah dan Pengelolaan Plasma Nutfah; dan
• Buku panduan tentang Karakterisasi dan Evaluasi Plasma Nutfah Talas.
KOMENTAR
Disadari bahwa manusia tidak dapat melangsungkan hidupnya tanpa sumber daya hayati, dan bahwa kekuatan sumber daya hayati itu tergantung pada derajat keanekaragaman unsur-unsur yang membentuknya. Oleh karena itu pelestarian plasma nutfah adalah mempertahankan keanekaragaman sumber daya genetiknya. Pelestarian keanekaragaman genetik akan selalu diperlukan dalam pemuliaan, karena tanpa adanya keragaman genetik, pemuliaan tidak mungkin dilaksanakan.
Terdapat kecenderungan bahwa beberapa plasma nutfah pertanian lokal/asli Indonesia telah mengalami ancaman punah. Punahnya plasma nutfah tersebut dapat berpengaruh pada jangka pendek dan jangka panjang. Oleh karena itu pemahaman pelestarian (keanekaragaman) plasma nutfah harus dihubungkan dengan pemahaman alam dan kemungkinan perubahan di masa mendatang yang diyakini bahwa plasma nutfah tersebut akan bermanfaat sangat besar bagi kehidupan manusia.
Masih dalam hubungannya dengan pelestarian keanekaragaman sumber daya genetik pertanian, dengan semakin majunya bioteknologi modern, telah dapat dihasilkan berbagai produk pertanian yang bermutu tinggi melalui proses pencarian dan pengembangan sumber-sumber baru dari senyawa kimia, gen, organisme, dan produk alamiah lainnya (bioprospecting). Untuk dapat menjadikan sumber daya genetik sebagai salah satu sumber pendapatan negara/masyarakat, perlu dilakukan pengembangan sumber daya manusia melalui peningkatan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, analisis ekonomik, pembagian keuntungan yang adil terhadap kemungkinan akses terhadap sumber daya genetik dan produk yang dihasilkan
Munculnya kesadaran akan potensi SDG dan juga permasalahan yang timbul dalam pelestarian dan pemanfaatannya, telah mendasari suatu kebutuhan bagi pengaturan yang mengikat dalam sistem perundang-undangan.
Komisi Nasional Plasma Nutfah dengan program-programnya telah berperan aktif dalam mengupayakan dan memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait dengan pelestarian keanekaragaman sumber daya genetik pertanian. Namun demikian diperlukan keterlibatan berbagai lembaga pemerintah, LSM, pelaku agribisnis, dan lapisan masyarakat dalam upaya mengamankan keanekaragaman plasma nutfah yang kita miliki melalui tatacara manajemen yang berkelanjutan. Demikian pula bekerjasama dengan berbagai stakeholders telah menyusun berbagai konsep rancangan peraturan perundang-undangan berkenaan dengan pengelolaan sumber daya genetik (RUU-PSDG, RUU Ratifikasi PI-SDGT/PP, RPP-KPRG, dan Kepmen tentang pengelolaan plasma nutfah tanaman dan ternak.
Kita ikut bertanggungjawab terhadap “kesulitan” yang dihadapi generasi mendatang karena “menghabiskan” keanekaragaman sumber daya genetik pertanian yang telah “dibuat” generasi sebelum kita. Janganlah berpikiran bahwa keanekaragaman plasma nutfah yang ada di Indonesia tidak bermanfaat, karena kita saat kini belum mengetahui potensinya, dan kita percaya bahwa plasma nutfah tersebut akan sangat berguna nantinya.
dilakukan antara lain adalah (a) kajian Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1995 tentang Perbenihan; (b) usulan penyempurnaan beberapa materi yang terkait dengan Undang-undang No. 6 tahun 1967 tentang Peternakan dan Kehewanan; (c) penyusunan pedoman tentang keamanan hayati (bio-safety); (d) pedoman penyusunan penghargaan kepada petani pelestari plasma nutfah (farmers’ right); serta (e) penyusunan beberapa Konsep peraturan perundang-undangan yang mempunyai cakupan lebih luas, antara lain : (1) Rancangan Undang Undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetik (RUU-PSDG); (2) Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Keamanan Produk Rekayasa Genetik (RPP-KPRG); dan (3) Rancangan Undang Undang Ratifikasi Perjanjian Internasional mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (RUU Ratifikasi PI-SDGT/PP).
Untuk mempersiapkan pedoman analisis dan manajemen resiko pemanfaatan produk rekayasa genetik, Komnas PN bersama-sama dengan Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan telah menyusun pedoman keamanan hayati, keamanan pangan dan keamanan pakan produk rekayasa genetik. Masih dalam kaitannya dengan pendekatan kehati-hatian terhadap produk rekayasa genetik (organisme hasil modifikasi), Komnas PN telah secara proaktif membantu Kementerian Lingkungan Hidup untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Ratifikasi Cartagena Protocol on Biosafety yang akan segera entry into force karena sudah diratifikasi/di akses oleh 48 negara (dinyatakan entry into force apabila sudah di ratifikasi/di akses oleh 50 negara)
Kerisauan stakeholders yang terwakili oleh Sumarno (2002) tentang lemahnya sistem pengelolaan berkelanjutan plasma nutfah (pertanian) di Indonesia, dan keinginan untuk meningkatkan kinerja sistem pengelolaannya, mengharapkan perlunya dibentuk Kelembagaan Nasional Pengelolaan Plasma Nutfah yang akan melaksanakan kebijakan pengelolaan plasma nutfah secara nasional. Walaupun Komnas PN secara organisasi telah melaksanakan perannya sebagai lembaga koordinatif di tingkat nasional, namun secara organisasi, kelembagaan pengelola plasma nutfah nasional belum dapat dilegalisasi. Legalisasi kelembagaan pengelola plasma nutfah nasional harus didasarkan pada aturan perundang-undangan yang berlaku. Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang memerintahkan untuk membentuk lembaga pengelola plasma nutfah nasional.Untuk maksud tersebut, Komnas Plasma Nutfah sudah memasukkan substansi perlunya dibentuk lembaga yang dimaksud, dalam konsep RUU-PSDG (bab Kelembagaan
Kamis, 19 Januari 2012
PERAN KOMISI NASIONAL PLASMA NUTFAH DALAM PENGELOLAAN PEMANFAATAN DAN PELESTARIAN SUMBERDAYA GENETIK PERTANIAN
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Blog Indahnya Berbagi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar